The Investigation – Part 4


Akhirnya, setelah ngebut semaleman jadi juga lanjutan kasus kali ini >.<

Lanjutan kali ini cukup panjang dan cocok untuk dibagi menjadi dua bagian
Namun saya berjanji bahwa bagian investigasi tinggal dua bagian lagi,
jadi lanjutan yang ini saya jadikan satu meningat masih ada satu tahap investigasi lagi..

semoga menghibur dan selamat membaca ^^

Sebelumnya..

Yusuf memperhatikan langit-langit di kamar Aldi. Tak sampai dua jam yang lalu, pada salah satu palang kayu yang melintang itu terikat seutas tali yang ujung lainnya melingkari leher Aldi yang malang. Sekarang, walaupun jenazah Aldi beserta tali yang menggantungnya telah dilepaskan, Yusuf masih bisa menggambarkan pemandangan yang menyedihkan itu.

Dari langit-langit sorot mata Yusuf berpindah ke dinding kamar sebelah kiri, di mana dua buah styrofoam—satu berwarna biru muda, satu laginya hijau toska—menempel secara  berdampingan. Terdapat beberapa lembar foto yang tersebar di beberapa area, sekumpulan post-it-note, logo universitas, dua baris kata-kata mutiara, dan selembar jadwal kegiatan yang ditempel dengan paku styrofoam sama seperti yang lainnya. Berbagai tempelan ini, ditambah hiasan-hiasan kecil lainnya, membuat kedua buah styrofoam tampak seperti menyajikan sebuah lukisan mozaik yang unik dan memiliki arti tersembunyi.

Seolah mencari arti tersembunyi dari mozaik unik itu, bola mata Yusuf bergerak cepat menyisir bagian atas, bawah, kiri, dan kanan mozaik. Perhatiannya meloncat-loncat dari satu post-it-note ke post-it-note lainnya dengan harapan agar salah satu catatan itu mengandung sebuah petunjuk untuk membongkar motif bunuh diri Aldi. Satu hal yang ia simpulkan setelah menyisir setiap catatan yang tertempel. Catatan-catatan itu sudah kadaluwarsa. Semuanya berkaitan dengan skripsi, persiapan sidang, dan wawancara perusahaan; kegiatan yang semuanya telah selesai dilakoni oleh Aldi satu bulan yang lalu. Tidak ada catatan baru. Tidak ada petunjuk.

Yusuf menghela nafas dan menempatkan perhatiannya untuk terakhir kali pada bagian styrofoam yang ditempeli secarik kertas berisikan jadwal kegiatan Aldi sehari-hari. Dari interviewnya bersama Hendrik, Yusuf sudah mengetahui salah satu karakteristik Aldi yaitu disiplin dan tepat waktu. Kertas yang berada di hadapannya sekarang inilah salah satu bukti yang mendukung pernyataan tersebut.

01.00 – Bangun solat malam
01.30 – Baca buku/tilawah
02.30 – Tidur
04.30 – Bangun  subuh
05.00 – Olahraga pagi
05.15 – Beres-beres dan mandi
05.45 – Sarapan dan TV

Sampai-sampai menonton tv pun dijadwal, komentar Yusuf dalam hati. Selanjutnya jadwal dikosongkan dan lanjut ke pukul 21.00 untuk rehat lima belas menit. 21.15 untuk cek  berkas dan catatan penting. Terakhir 22.00 untuk tidur. Yusuf menilai bahwa jadwal ini berlaku untuk kegiatan khusus ketika Aldi berada di kosan. Kosongnya jadwal dari pagi hingga pukul sembilan malam itu kemungkinan diisi oleh kegiatan Aldi di luar. Juga dari dua kegiatan terakhir, bisa diperkirakan jadwal itu berlaku ketika Aldi masih sibuk persiapan sidang. Jadi untuk sebulan terakhir dapat dikatakan kegiatan Aldi diawali pukul satu malam, fleksibel sesudah sarapan dan TV, dan diakhiri tidur sebelum pukul 10 malam.

Tidur sebelum pukul sepuluh malam. Yusuf membalik badan, memperhatikan kasur single dengan seprai yang tertarik kusut di bagian tengahnya. Tengah malam tadi mungkin Aldi terbaring di kasur terjaga tak bisa tidur atau bahkan terlelap namun bermimpi buruk. Yang jelas, pikir Yusuf, yang ada dalam pikiran Aldi saat itu, sadar atau tidak sadar, bisa memberikan pencerahan untuk menjelaskan perilaku bunuh dirinya itu.

Yusuf beranjak ke meja di sebelah kirinya, mengambil tas di atas kursi dan meletakannya di atas kasur. Tas tersebut adalah tas yang berisikan kunci kamar Aldi. Kunci tersebut bersama kunci master yang tergeletak di atas meja telah dibawa ke kantor polisi sebagai barang bukti. Sebelumnya Yusuf mempertanyakan fakta ditemukannya kunci master dan kunci kamar yang sama-sama berada dalam kamar yang terkunci dari dalam ini. Namun sekarang sepertinya penjelasan sederhanalah yang melatarbelakangi hal tersebut.

Yusuf menduduki kursi tersebut setelah menariknya sehingga posisi kursi yang tadinya serong ke arah laci sekarang lurus menghadap kolong meja. Sebuah lampu duduk berdiri di sudut kiri jauh meja dengan kepala menunduk ke bagian tengahnya. Di sudut kiri satu laginya, di bibir meja, tertumpuk kertas A4 berisikan catatan dan fotokopian. Beberapa terjilid rapi, beberapa distepler di bagian ujung. Di tepi meja yang menempel pada dinding, sejumlah buku berderet rapi dari ukuran besar dari sebelah kiri ke ukuran yang lebih kecil di sebelah kanan. Buku yang berukuran besar merupakan kumpulan textbook mengenai metode penelitian dan statistika. Untuk buku ukuran sedang judulnya beragam mulai dari ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi, sejarah dan sains populer. Selebihnya adalah buku keagamaan dan novel.

01.30 – Baca buku/tilawah

Dini hari sehabis bangun tidur memang merupakan waktu terbaik untuk menyerap ilmu. Setidaknya itu yang Yusuf yakini. Tempat yang dipilih Aldi ini pun cocok untuk membaca buku. Dengan  jendela tak bergorden berada tepat di depan, Aldi bisa sesekali mengangkat pandangan dari permukaan buku untuk menikmati pemandangan langit malam yang menakjubkan dengan dihiasi sinar rembulan dan kelap-kelip cahaya bintang.

Yusuf menarik badan dari posisinya yang semula condong ke depan. Tangan kanannya melingkar secara horizontal pada pegangan laci meja. Ditariknya pegangan itu untuk mencari tahu apa saja yang ada di dalam isi laci. Gunting. Stapler+isi. Selotip. Pensil 2B. Pensil mekanik+isi. Penghapus. Penggaris. Bolpoin. Spidol. Highlighter. Kertas file. Flashdisk. Kabel data. USB Hub. Kalkulator. Dan sebuah notebook/diary! Yusuf mengambil dan membolak-balik isi diary itu. Isinya penuh, namun tidak ada satu tulisan pun yang berkenaan dengan konflik pribadi, isi hati dan semacamnya. Tidak ada lagi petunjuk untuk motif! Yusuf menggeleng. Sepertinya Aldi bukan tipe yang suka menuliskan hal-hal seperti itu

Yusuf bangkit dari kursi dan teringat sesuatu. Ah! Kaus kaki. Ya, mungkin kali ini pencariannya akan menemukan hasil. Ia mulai mencari di keranjang cucian di samping pintu kamar mandi lalu meneruskan ke lemari pakaian di seberang ranjang. Hasilnya terdapat 8 pasang kaus kaki yang ia temukan. Semuanya lengkap. Mungkin pasangan kaus kaki yang hilang itu sudah ditemukan oleh Aldi. Jika total semuanya ada 9 pasang, dan ada satu pasang yang hilang pun, Yusuf tidak tahu seperti apa wujud kaus kaki yang hilang. Lagi pula kehilangan kaus kaki bukanlah hal yang bisa membuat seseorang bunuh diri, bukan? Bisiknya dalam hati.

Setelah usahanya tak kunjung menghasilkan apa-apa, Yusuf pun berniat untuk menghentikan penyelidikan. Langkah Yusuf terhenti saat ia melewati styrofoam di dinding tadi. Kali ini Ia memperhatikan kumpulan foto Aldi yang sebelumnya tidak ia beri perhatian yang cukup. Foto-foto itu beragam. Menilai dari spanduk acara yang terpampang di bagian atas, yang ini adalah dari acara kepanitiaan di kampus. Ada juga foto di mana Aldi dan teman-temannya berkumpul bersama di sebuah kafe. Yang berlatar belakang outdoor dan pemandangan alam sepertinya ketika Aldi  pergi hiking, kemping, dan naik gunung. Ada juga foto dengan latar bangunan kosan di mana penghuninya sedang bakar-bakar. Ada yang membakar ayam, ada juga yang bakar jagung. Hendrik dan Tanto pun terlihat di foto itu.

Satu hal yang didapatkan Yusuf kali ini. Di setiap foto itu Aldi selalu terlihat sama. Wajahnya bulat, terkesan ramah namun ada garis kasar yang semu pada wajah itu. Garis yang menandakan pengalaman pahit dan kelam di masa lalu. Namun garis itu hanya berupa bayang-bayang yang tidak dominan jika dibandingkan dengan senyum yang terlukis di wajah Aldi. Ya, di foto itu, senyum ceria Aldi selalu terlihat menyilaukan. Namun, hal tersebut tidak begitu membantu dan malah kembali memunculkan pertanyaan yang sama di benak Yusuf. Apa yang mendorongmu sampai bunuh diri Aldi?

Dengan pertanyaan tadi terngiang-ngiang di kepalanya, Yusuf turun ke bawah. Di teras bertemu dengan Hendrik.

***

“Jika butuh pak Syarif, sebaiknya besok saja pak polisi. Saya menyarankannya untuk tidur. Masih syok.”

Yusuf mengangguk, memang sudah dalam rencananya menginterview besok.

“Penyelidikan motif Aldi bagaimana pak?”

“Maaf, saya tidak bisa menjawab pertanyaan Mas,” jawab Yusuf sambil memasang tatapan menusuk sampai-sampai Hendrik dibuat kikuk olehnya.

“Er, anu.. maaf jika.”

“Karena sampai saat ini saya belum menemukan motifnya.” Tambah Yusuf sambil tersenyum. Hendrik bernafas lega.

“Oh, omong-omong jika Mas ada urusan jangan membuat saya menghalang-halangi, silahkan.”

“Saya tidak punya rencana. Rasanya pikiran saya kosong entah ingin melakukan apa. Jika pak Yusuf butuh bantuan, apapun, mungkin saya bisa membantu.”

Yusuf menggaruk-garuk kepala, ia sendiri bingung minta bantuan apa. “Hmm. Bagaiaman dengan tempat laundry itu. Boleh saya melihat-lihat?” Yusuf menunjuk tempat laundry yang berada di sebelah kiri kos-kosan jika dilihat dari arah gerbang. Atau kalau patokannya adalah laundry maka kos-kosan berada di sebelah timurnya.

“Boleh, pintunya juga sepertinya tidak dikunci. Mari.” Yusuf mengikuti Hendrik.

Hendrik berjalan menuju pintu samping yang menghadap tepat pada dinding luar bagian barat kosan. Bau deterjen menyerbak tercium ketika Yusuf melangkah melewati ambang pintu. Di depannya terdapat ruang sempit yang dibatasi oleh sekat. Ruang yang cukup bagi satu orang untuk kegiatan mencuci itu diisi oleh sebuah mesin cuci bukaan atas, di sampingnya terdapat meja dengan keranjang baju dan keranjang lain yang tertumpuk di kolongnya.

Hendrik menjelaskan bahwa mesin cuci inilah yang digunakan penghuni kos. “Pemakaiannya gratis, sudah masuk iuran tahunan, namun penggunaannya di jadwal karena jumlahnya yang hanya ada satu. Bagi penghuni lain yang malas mencuci sendiri pakaian bisa dicucikan oleh pegawai laundry, dengan diskon tentu saja. Tempat pencuciannya sendiri berada di sisi lain ruangan ini.” Hendrik berjalan melewati sekat, berupa rak rak kosong, yang membatasi area cuci khusus penghuni kos dan area cuci komersil. Yusuf bergerak mengikuti Hendrik dan tiba di ruangan yang lebih luas namun kosong. Selain tumpukan keranjang dan rak-rak lain di dinding seberang, sama sekali tidak ada deretan mesin cuci seperti yang dibayangkan Yusuf.

“Mengapa kosong? Tidak ada satu mesin cuci pun di sini.” Katanya terheran-heran.

“Satu Minggu yang lalu empat pasang laundromat (mesin cuci dan pengering bukaan samping) dipinjamkan Pak Syarif ke rekan bisnisnya yang lain. Tadinya di sebelah sini,” Hendrik menunjuk lahan kosong di samping rak-rak baju, “Ada empat mesin cuci dan empat pengering ditumpuk di masing-masing atasnya. Di hari-hari sibuk biasanya keranjang itu penuh dengan cucian dan rak-rak ini penuh dengan bungkusan pakaian yang siap antar. Ketika bertepatan dengan jadwal saya mencuci, saya dibuat terburu-buru oleh kesibukan pekerja di sini.”

Yusuf mengangguk, besar juga bisnis yang dikelola pak Syarif, selain mengurus kos-kosan ada juga bisnis binatu/laundry. Di sisi lain ia juga menggeleng-geleng ketika membayangkan berapa besar tagihan listrik bulanan yang harus dibayar Pak Syarif pada PLN. Merasa cukup melihat-lihat, Yusuf memutuskan untuk keluar dari tempat laundry dan berjalan menuju Honda Tiger merah maroon miliknya yang diparkir di halaman. Hendrik yang menutup pintu tempat laundry, menyusul Yusuf dari belakang. “Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Hendrik.

“Tidak ada, Mas.” Jawab Yusuf sambil mengencangkan tali helmnya.

“Anda selesai menginvestigasi?”

“Untuk hari ini, ya. Terima kasih Mas Hendrik. Jika saya butuh bantuan, saya punya nomor kontak Mas, kok.”

Hendrik mengangguk, pamit dan masuk ke dalam kosan.

Yusuf menaikan standar motor, menyalakan starter, membiarkan Tigernya mengaum beberapa kali, baru kemudian memasukan gigi dan meninggalkan halaman kosan. Di jalan yang menurun itu Yusuf merasakan perut kosongnya berteriak meminta makanan. Tiba di persimpangan, Yusuf menghentikan laju motornya untuk singgah ke warung kopi yang terletak tepat berada di seberangnya.

Pemilik warung langsung menawari Yusuf begitu ia masuk ke dalam, “Kopi pak? Bubur kacang? Mi instan?”

“Kopi susu satu.” Jawab Yusuf sembari duduk di bangku panjang khas warung kopi.

Si Pemilik warung, langsung sibuk menyiapkan pesanan Yusuf. Yusuf mengambil dua buah pisang goreng dan menjajalkannya satu satu dengan lahap. Pesanan kopi susu selesai dibuat, pemilik warung segera menyuguhkannya di hadapan Yusuf.

“Beres penyelidikan ya pak? Bunuh diri kalau saya tidak salah dengar? Cèp Aldi deui? Leres pak cèp Aldi bunuh diri?” Rasa penasaran si pemilik warung membuatnya nekat untuk melontarkan pertanyaan itu tanpa memandang bulu kalau yang ditanya adalah ketua tim penyelidikan. Atau mungkin lebih tepatnya karena tidak tahu.

Yusuf menjawab secara sambil lalu, ia tidak ingin mendiskusikan hal itu. Pandangannya terpaku pada kopi susu di hadapannya. Mengamati uap kopi yang meliuk-liuk bergerak ke atas.

“Bunuh diri. Teu disangka-sangka.” Pemilik warung berlogat Sunda itu menggeleng-gelengkan kepala. “Bener siga na mah tanah èta memang angker.” Lanjutnya.

Ucapan pemilik warung itu menarik perhatian Yusuf. “Anu, pak? Apa maksudnya tanah kosan itu tanah angker?”

Pemilik warung kemudian menjelaskan, Yusuf mendengarkan dengan seksama sambil mengaduk-aduk kopinya.

***

            Singkatnya, ada mitos yang dipercaya penduduk asli di situ yang berawal dari zaman penjajahan Belanda. Jatinangor dulunya dikenal sebagai perkebunan karet yang dikuasai oleh Belanda. Dulu itu katanya, tanah yang sekarang menjadi kos-kosan Pak Syarif, adalah tanah milik keluarga Belanda yang juga kerabat si bos karet. Keluarga yang tinggal di situ adalah sepasang suami istri dengan dua orang anak yang masih kecil, laki-laki dan perempuan. Sang  Istri dikenal ramah pada pembantu-pembantunya juga pada pribumi di sekelilingnya sehingga sosoknya itu disukai oleh warga.

Namun sang suami, Mr. Coen, orangnya paranoid. Ia tidak percaya pada pribumi. Ia selalu curiga bahwa warga pribumi semuanya memendam kebencian kepadanya yang seorang bangsa penjajah. Sang suami selalu yakin bahwa warga pribumi, baik itu pembantunya sendiri, sewaktu-waktu akan menyerang keluarganya. Berkat paranoia-nya itu sang suami dikatakan membangun sebuah bunker tersembunyi untuk melindungi keluarganya dari bahaya yang dikhayalkannya tersebut.

Sebuah khayalan yang berawal dari kecemasan yang berlebihan itu akhirnya memuncak ketika terjadi kecelakaan pada salah satu anaknya. Anak laki-lakinya yang masih kecil terjatuh dari ayunan, kepalanya membentur batu sehingga berdarah. Untungnya anak itu selamat dari ancaman nyawa. Tapi efek yang diakibatkan dari kecelakaan itu membuat paranoia sang ayah semakin parah. Pembantu yang bertugas menjaga anaknya ia tempeleng sampai kupingnya sobek. Pembantu pribumi yang lain ia usir semua. Saat mengusir mereka ia juga memberikan ultimatum dan ancaman. “Jika ada pribumi yang menginjakkan kaki di tanah ini, aku bersumpah akan membuat orang itu sekarat dan menderita sampai mati.” Kurang lebih seperti itulah ucapannya.

Istrinya dilarang bepergian dan keluarga itu kemudian mengurung diri di dalam rumah mereka. Hari ke hari keluarga itu semakin tertutup dengan dunia luar. Warga  pun menjadi penasaran karena tak satu anggota keluarga pun yang keluar untuk menunjukkan batang hidungnya. Meskipun penasaran, ancaman dari pria Belanda itu membuat mereka takut untuk mencari tahu. Sampai satu hari gempa besar mengguncang daerah itu. Anehnya meskipun getarannya cukup besar, tidak ada rumah warga yang hancur. Satu satunya yang hancur adalah rumah milik keluarga Belanda itu. Rumahnya luluh lantah, rata dengan tanah. Kali ini warga tidak peduli jika Mr. Coen mengutuk mereka. Warga beramai-ramai mencari jasad mereka di bawah puing-puing itu, tapi mereka tidak menemukan apa-apa. Sepertinya keluarga itu telah pergi meninggalkan rumah mereka jauh-jauh hari sebelum bencana itu terjadi.

Sejak saat itu warga tidak berani lagi mendekati tanah milik si keluarga Belanda takut-takut Mr. Coen tiba-tiba datang dan memergoki mereka di tanahnya lalu menepati janji dalam ultimatumnya itu. Tidak ada satu pun yang berani, sampai tiga bulan kemudian seorang anak pribumi yang terkenal nakal menjadi penasaran dan pergi bermain di tanah itu di malam hari. Ketika pulang dan diketahui habis dari mana lantas saja ia dimarahi habis-habisan oleh orang tuanya. Anak itu tertunduk, menggigil dan menggeleng-gelengkan kepala, namun bukan sebagai respons omelan ibu-bapaknya. Nampaknya sebelum tiba di rumah, si anak sudah ketakutan duluan oleh sesuatu di tanah itu.

Setelah bicaranya mulai jelas si anak ditanya, apa yang membuatnya ketakutan. Dengan gagap ia menjelaskan. Ketika ia bermain di sekitar tanah itu, tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Ia menengok ke kiri ke kanan. Tidak ada siapa-pun di sana. Bulu kuduknya berdiri. Dan sesaat sebelum ia sempat meninggalkan tanah itu ia mencium bau busuk. Kemudian suara yang ia dengar sebelumnya terdengar lebih jelas. Jeritan. Tawa histeris. Tangisan terseguk-seguk. Dan teriakan kasar. Semuanya dari suara laki-laki yang sama. Dari orang Belanda. Selesai menjelaskan, bocah itu masih menggigil. Ibunya mengeloni anaknya sampai tertidur. Di kasur, anak itu tetap menggigil sambil menutup telinga. Besoknya bocah malang itu menghilang dan baru diketemukan lima hari berikutnya dalam kondisi tidak waras.

Kejadian yang menimpa si anak itu membuat warga mengadakan kumpulan. Salah satu pembicaraan warga adalah tentang keberadaan keluarga Mr. Coen sendiri. Di mana mereka berada sebelum, saat dan sesudah gempa meruntuhkan rumah mereka. Kesaksian bocah malang itu menuntun warga pada kesimpulan yang mengerikan : Keluarga Mr. Coen masih berada di sana, di tanah milik mereka!

Salah seorang warga bertanya. “Tapi mengapa mereka tidak ditemukan saat warga mencari di balik puing-puing bangunan? Dan mengapa keluarga itu tidak pergi keluar rumah untuk menyelamatkan diri?”

Seorang sesepuh menjawab pertanyaan itu dengan memberikan teori seperti ini :

“Setelah kejadian yang menimpa anaknya itu, paranoia sang ayah semakin menjadi-jadi. Dia bersembunyi dibalik rumahnya yang merupakan benteng pertahanan paling aman baginya, bahkan jika satu waktu akan ada serangan ia telah siap bertahan di bunkernya. Hari terus berganti dan bersamaan dengan itu kecemasannya makin bertambah. Mengapa mereka belum menyerang? Apa mereka sedang merencanakan siasat? Apa yang akan mereka lakukan untuk menyerangku? Pikiran-pikiran seperti itu terus menghantui pikiran si Belanda membuatnya setengah gila.

“Kemudian datanglah gempa, warga panik dan berlarian ke sana ke mari. Tapi bukan ini yang diartikan oleh Mr. Coen. Yang tertangkap olehnya saat itu adalah segerombolan pribumi berlarian, meneriakan umpatan pada penjajah, bersiap untuk menyerang. Jumlah mereka pasti banyak, pikir Mr. Coen, sampai-sampai bumi terguncang dibuatnya. Rasa panik menyerangnya, tanpa berpikir panjang lagi ia menggiring Istri dan dua anaknya untuk bersembunyi di bunker dari serangan gerombolan pribumi. Mereka sampai di bunker, Mr. Coen mengunci pintu, merasa aman dari serangan padahal yang terjadi sebenarnya adalah getaran gempa yang hebat yang meruntuhkan rumah kediamannya.

“Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya dan sadar akan kesalahpahamannya, Mr. Coen ditimpa penyesalan dan rasa bersalah yang sangat besar. Mengapa? Ia telah mengurung keluarganya di bunker tersembunyi, kedap suara dan tertutup dari lubang ventilasi. Tak lama lagi udara di dalamnya akan habis. Istri dan anaknya akan menemui cara kematian yang sangat menyiksa, sesak nafas secara perlahan. Mencoba menebus kesalahannya, Mr. Coen berusaha agar keluarganya tidak menderita seperti itu. Ia membunuh mereka semua. Lebih baik mati secara cepat, dari pada mati tersiksa. Setelah itu Mr. Coen menangisi anak dan istrinya yang telah ia bunuh. Menjerit. Histeris. Mengutuk. Sampai sisa udara terakhir habis ia hirup.”

Salah seorang warga lain menanyakan satu hal yang tidak cocok dalam teori yang dikemukakan sesepuh tadi.

“Kejadian gempa itu kan terjadi tiga bulan yang lalu. Seharusnya Mr. Coen sudah meninggal kehabisan nafas ketika anak pak anu mendengar jeritan dan tawa histeris. Jika begitu lantas apa yang didengar oleh si anak?”

Warga lain tidak ada yang bersuara. Suasana menjadi sangat hening. Sebenarnya mereka bisa menebak sendiri apa jawaban pertanyaan itu. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang mau menjawab dan mengakui fakta tersebut. Sesepuh tadi pun kembali berbicara.

“Jika ada udara yang masuk dari ventilasi lain, mungkin ia masih hidup dan bisa bertahan selama tiga bulan dengan memakan jasad istri dan anaknya. Ini menjelaskan bau bangkai dan jeritan histeris dari Mr. Coen yang didengar si anak. Bayangkan, bertahan hidup dengan memakan bangkai Istri dan anak yang telah Ia bunuh terlebih dahulu. Bagaimana seseorang bisa bertahan hidup seperti itu tanpa berubah menjadi gila.

“Atau jika semua ventilasi tertutup, maka yang didengar anak itu adalah hantu dari Mr. Coen. Menjerit. Tertawa. Histeris. Dan terus mengutuk, sama seperti yang ia lakukan pada akhir kehidupannya. Tak heran anak pak anu menjadi gila mendengar jeritan hantu Mr. Coen.

Warga tetap membisu.

“Satu hal yang bisa ditarik dari kejadian ini.” Sesepuh itu melanjutkan. “Walaupun sudah tidak berada di alam dunia, Mr. Coen tetap menepati ucapannya.”

“Jika ada pribumi yang menginjakkan kaki di tanah ini, aku bersumpah akan membuat orang itu sekarat dan menderita sampai mati.”

Satu orang yang melanggar ancaman dari Mr. Coen. Seorang anak, dan anak itu (terutama keluarganya) sekarat dan menderita sampai mati. Setelah kejadian yang menimpa si anak, tak ada warga yang berani mendekati tanah Mr. Coen. Tanah milik penjajah Belanda itu mereka cap angker dan sebisa mungkin harus dihindari.

Yusuf tertegun mendengar mitos yang diceritakan si pemilik warung. Rupanya pemilik warung itu juga pandai berdogeng.

Benar tidaknya mitos itu, tidak ada yang tahu. Pemilik warung meneruskan. Warga asli hampir sudah tidak ada atau jika adapun sudah tua dan pikun. Semua warga di sini kebanyakan pendatang, bahkan pemilik warung kopi dengan logat Sunda itu sendiri berasal dari Ciamis. Ketika daerah itu belum dijamuri semua oleh pendatang, warga asli menceritakan mitos tersebut pada pendatang yang baru menetap di sana. Mitos tersebut diceritakan lagi oleh pendatang pendahulu ke pendatang lain hingga generasi sekarang. Awalnya baik warga asli maupun pendatang selalu menghindari lewat tanah itu. Meskipun mitos ini sudah tua, entah mengapa warga tetap mempercayainya. Dua puluh tahun yang lalu ada yang berani membeli tanah itu namun setelah mengetahui asal usul tanahnya, pembeli itu membiarkan tanahnya kosong melompong.

Tapi hal itu berubah ketika sepuluh tahun lalu, Pak Syarif menerima tanah itu sebagai warisan dari pamannya. Terlepas dari anggapan warga yang mencap tanah itu angker, pak Syarif berani mempertaruhkan peruntungannya dengan mulai membangun kos-kosan. Dengan adanya Unpad bisnis kos-kosan memang nampak menguntungkan saat itu. Untuk merealisasikan peruntungannya, Pak Syarif bahkan menyewa petugas konstruksi dari kampungnya sendiri karena warga sini untuk mendekati tanah itu saja tidak ada yang berani. Setelah kos-kosan jadi, tak disangka banyak mahasiswa yang memilih kos di tempat Pak Syarif. Mitos warga tentang tanah itu membuat kos-kosan pak Syarif dihargai lebih murah, dan harga murah ini malah jadi madu yang mengikat mahasiswa lain untuk kos di sana. Alhasil kos-kosan jadi ramai. Dan lama kelamaan mitos tersebut mulai dilupakan.

Yusuf berpikir. Yah, apalagi bagi generasi masa kini yang akrab dengan teknologi informasi yang sudah canggih. Bagi mereka, mitos itu hanyalah cerita kuno yang dikarang oleh orang zaman dulu. Jika dipikir-pikir, memang tidak ada salahnya juga sih pola pikir seperti itu. Karena jika ditelusuri dari sisi motif, penyebaran mitos ini sendiri, sepertinya mitos ini diperuntukkan untuk menakuti anak kecil agar tidak mendekati tanah Belanda. Sama seperti sikap Belanda yang paranoid itu, motif ini mungkin didasari oleh sikap pribumi yang anti-kolonial.

“Nah, tapi sekarang, dipikir-pikir mah aya benerna ogè mitos èta, buktina Aldi bunuh diri.” Komentar pemilik warung di akhir monolognya mengenai mitos tersebut.

Yusuf tercengang, “Mengapa begitu, pak?”

“Pak polisi, saya tahu pribadi cèp Aldi. Aldi mah bukan tipe orang yang akan membunuh diri. Pokona teu masuk akal kalau cèp Aldi bunuh diri. Teu. Tidak masuk akal. Cèp Aldi sama sekali tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Penjelasan nu paling masuk akal mah, èta  tanah kos-kosan tèh memang angker. Terus arwah orang Belanda nu mati secara tragis èta, Mr.Coen, nyurup ka cèp Aldi nuntun cèp Aldi sampe bunuh diri.”

Yusuf mengerjapkan mata, ia sama sekali tidak mengerti bagian mana dari teori itu yang masuk di akal.

***

Selanjutnya..

30 comments on “The Investigation – Part 4

  1. Pingback: The Investigation – Part 3 | Black or White?

  2. Fan.. Masih inget aku?! Hehe.. Udah bertambah hebat kamu sekarang yah.. Aku dah baca smuanya dan aku tunggu lanjutannya..

    Maaf setelah sekian lama baru balik lagi.. Sok sibuk.. Hahahaha..

    Yang ini harus selese yah fan.. Jangan ga selese kayak shinkansen.. Hehe..

    Like

  3. Biasa fan.. Banyak yang harus diurus.. Hahahaa.. Sok sibuk lah namanya..
    Bagus nih cerita kayaknya.. Penasaran.. Haha..
    Smangat fan..

    Like

  4. Pingback: Sedikit selingan.. | Black or White?

  5. Pingback: The Final Day of Investigation – Part 1 | Black or White?

  6. Pingback: The Final Day of Investigation – Part 2 | Black or White?

  7. Pingback: The Unexpected Guest | Black or White?

  8. Pingback: Motive | Black or White?

  9. Pingback: Trap | Black or White?

  10. Pingback: Again, Motive | Black or White?

  11. Pingback: Last, Conclusion | Black or White?

Your Opinion