Last, Conclusion


Lanjutan dari Again, Motive
dan chapter terakhir dari misteri kematian Aldi dengan judul awal Suicide?
Sangat tidak disarankan untuk membaca bagian ini
jika belum baca cerita-cerita sebelumnya.. >:D

  1. Suicide ?
  2. The Investigation – Part 1
  3. The Investigation – Part 2
  4. The Investigation – Part 3
  5. The Investigation – Part 4
  6. The Final Day of Investigation – Part 1
  7. The Final Day of Investigation – Part 2
  8. The Unexpected Guest
  9. Motive
  10. Trap
  11. Again, Motive

Dibaca berurutan ya, biar ga bingung.. Hehe

***

Pondok Netherland, Selasa pukul 22.20
Ruang bawah tanah (Bunker)

Yusuf menyalakan lampu di dalam ruangan pengap bawah tanah yang dijadikan markas produksi narkoba oleh Pak Syarif. Dika, berdiri di depan lorong yang menghubungkan bunker dengan bangunan tempat Pak Syarif tinggal, tengah membantu yang terakhir untuk berdiri. Borgol sudah terpasang kokoh di pergelangan tangannya (namun tidak diposisikan di belakang punggung untuk mempermudah saat menaiki tangga jalan keluar bunker).

Saat keduanya berdiri tegap, Yusuf baru bisa melihat jelas wajah dari Pak Syarif. Lampu yang baru saja ia nyalakan berada tergantung di tengah satu, dan beberapa ditempel di sisi-sisi dinding. Cahaya lampu tengah tidak terlalu terang, namun tidak terlalu redup. Efek yang ditinggalkannya pada wajah Pak Syarif membuat wajahnya terlihat keras dan dipenuhi lekukan.

Yang menjadi perhatian Yusuf adalah pantulan cahaya di kedua pipi Pak Syarif yang memberikan kontras pada wajah kerasnya. Tak perlu berpikir dua kali, dengan segera Yusuf tahu bahwa pantulan itu berasal dari uraian air mata. Yusuf pun tahu bahwa air mata itu bukanlah air mata yang menahan sakit fisik dari bantingan yang diberikan oleh Dika.

Air mata itu berasal dari rasa sakit yang diderita oleh batin. Sakit yang berasal dari luka yang lebih perih ketimbang luka borok yang disiram cairan asam. Sakit yang berasal dari penyesalan, rasa bersalah, dan duka yang mengendap di dalam sesuatu yang disebut hati nurani.

Seharusnya Yusuf menyadari hal tersebut. Mulut mungkin berkata lain, tapi sikap dan bahasa tubuh selalu mengatakan kebenaran. Ya, pada waktu pengambilan keterangan, Pak Syarif memang terlihat sangat terpukul, kehilangan, dan penuh penyesalan.

Awalnya ia menyangka sikap itu timbul dari penyesalan karena tidak meluangkan waktu bagi Aldi yang putus asa. Tapi itu berdasarkan teori bunuh diri Dika.

Kemudian, berdasarkan teori pembunuhan Alfa, ia menyangka bahwa sikap itu hanyalah akting dari seorang pembunuh berdarah dingin. Tapi seharusnya ia tahu bahwa itu bukanlah akting. Bukan, jika apa yang dikatakan orang terhadap hubungan keduanya (Aldi dan Pak Syarif) benar. Dan memang itulah kebenaranya. Sikap Pak Syarif memang penuh penyesalan, penuh rasa bersalah, karena ia lah yang bertanggung jawab atas kematian Aldi.

Rasa bersalah itu terus menghantuinya. Terus bertumpuk dari hari ke hari, layaknya balon yang terus menerus ditiup. Dan layaknya udara, rasa bersalah itu dijaga oleh elastisitas karet balon bernama ego, yang menjaga rahasia penyesalan itu erat-erat.

Namun setebal apapun kulit balon, akan tiba saatnya ketika elastisitas karet tidak sanggup menahan besarnya tekanan udara, atau dalam kasus pak Syarif, tekanan emosi dalam dada.

Tubuh Pak Syarif gemetar, menggigil. Rintihannya berubah menjadi tangisan yang meraung-raung, memanggil nama Aldi yang telah berpindah ke alam baka.  Dika melepaskan pegangannya, membiarkan Pak Syarif meraung sejadi-jadinya hingga ia tersujud ke lantai.

Balon telah meletus.

Setelah drama penangkapan berakhir, Yusuf menghisap sebatang rokok di depan gerbang kos-kosan. Dika dan Pak Syarif kini tengah dalam perjalanan ke kantor polisi untuk proses penahanan. Satu tiupan besar asap rokok Yusuf hembuskan dengan lega. Ya, lega. Dan entah mengapa hati Yusuf merasa lega. Yusuf pun bertanya-tanya.

Apakah itu karena ia menemukan ikatan batin yang kuat antara Aldi dan Pak Syarif menentramkan bagi hatinya (meskipun ikatan ini sempat ternodai oleh pembunuhan terhadap Aldi). Atau karena sesaat sebelum meninggalkan bunker, Yusuf sempat melihat satu jerigen berisi minyak tanah di samping dinding lorong sempit bunker belanda.

Tapi bukan itu yang menarik perhatian Yusuf. Tak jauh dari jerigen itu, di atas lantai batu yang lembab, tergeletak seikat tali tua dengan simpul yang dikenali Yusuf beberapa hari sebelumnya.

Yusuf tersenyum. Yah, ternyata rencana yang ia susun tidak begitu sia-sia.

***

Polsek Jatinangor, sepuluh hari kemudian

“Oke oke, aku tahu itu berlebihan. Namun sebagai pembelaan, saat itu aku menganggap Pak Syarif sebagai orang licik berdarah dingin yang tak segan membunuh orang yang dekat dengannya untuk menutupi rahasia kotornya.”

Yusuf berjalan ke samping meja tamu sambil menyuguhkan dua cangkir kopi pada dua temannya, Alfa dan Dika. “Dan ternyata kau salah?” ujarnya pada yang terakhir.

“Ya aku salah. Tapi bukankah kalian juga berpikiran seperti itu. Jawaban yang ia berikan pada Yusuf menunjukkan ia berdarah dingin. Pada saat ditanya apakah Aldi memiliki masalah yang dirahasiakan, ia bisa saja menjawab ‘iya, Aldi punya masalah yang dirahasiakan’. Dengan begitu Yusuf akan mendapatkan motif dan menghentikan penyelidikan. Tapi tidak. Ia malah memberikan jawaban yang tidak membantu. Ia mengaburkan permasalahan motif. Mengapa? Karena jika ia menjawab, ‘iya’, ia menjadi satu-satunya orang yang percaya bahwa Aldi punya alasan untuk bunuh diri. Sedang banyak suara lain yang menolak gagasan tersebut. Jika ia menjawab ‘iya, Aldi punya masalah’, Yusuf akan mencurigainya, Yusuf akan menyelidikinya lebih lanjut, dan ia takut Yusuf akan menemukan kebenarannya. Jawaban yang dipilihnya itu jelas-jelas menunjukan bahwa ia seorang pembunuh berdarah dingin yang dengan penuh perhitungan berusaha menutupi kejahatannya.” Protes Dika sambil cemberut.

Yusuf menjawab protes tersebut dengan berkata, “Atau mungkin sisi baik dalam dirinya tak mampu menebarkan kebohongan yang dapat merusak nama baik Aldi yang ia anggap sebagai anak sendiri.”

Alfa yang duduk di sebelahnya mencoba menenangkan, “Sudahlah di sisi lain kau telah meringkus satu pabrik narkoba beserta sistem peredarannya.”

Apa yang dikatakan Alfa memang benar. Bahkan kasus itu bisa dibilang cukup menggemparkan. Usaha laundry yang dikelola Pak Syarif ternyata merupakan kedok untuk usaha pengedaran narkoba. Menurut keterangannya, Pak Syarif mengatakan bahwa idenya didapat dari orang tidak dikenal yang sebangku dengannya dalam perjalanan ke Surabaya. Ini terjadi sudah lama, saat ia telah mewarisi tanah yang sekarang menjadi kos-kosan itu. Pria seumuran yang sebangku dengannya ini awalnya mengajak ngobrol, keduanya ngobrol ngalor ngidul, sampai Pak Syarif mulai menceritakan soal bunker rahasia itu. Awalnya bunker itu dibuat sekedar iseng saja, terinspirasi oleh mitos warga. Memang bisa dikatakan pembangunan bunker itu nampak seperti usaha untuk mengolok-olok kepercayaan warga setempat, apalagi Pak Syarif merahasiakan keberadaannya setelah bunker itu selesai dibangun. Bunker itu sendiri awalnya digunakan Pak Syarif sebagai tempat menyendiri. Adalah perkataan si Pria misterius yang mengubah jalan pikiran Pak Syarif.

Pria itu mendengarkan cerita Pak Syarif dengan seksama, lalu dengan polosnya mengatakan bahwa akan aman sekali jika bunker itu dijadikan pabrik narkoba, di bawah sebuah bisnis legal sebagai kedok, katakanlah tempat laundry. Pak Syarif tersentak ketika mendengar hal tersebut, menyadari respons Pak Syarif pria itu tertawa dan mengatakan bahwa ia bercanda, namun Pak Syarif tidak yakin jika pria itu hanya bercanda. Singkat cerita, beberapa tahun berlalu hingga bisikan setan meyakinkannya.

Pak Syarif terlilit utang. Ia membutuhkan uang untuk hutang-hutangnya. Bisnis kos-kosannya ternyata besar pasak daripada tiang. Jika menaikan harga sewa, ia bisa kehilangan penyewa kos. Jika tidak ia bisa bangkrut. Pada saat itulah ia kembali teringat pada obrolan kecilnya di dalam bus. Pak Syarif pun untuk mencoba menerapkan ide pria tersebut. Ia mulai usaha laundry untuk kedok pabrik narkoba dan kos-kosan untuk mengelabui polisi.

Sindikat yang bekerja dengan Pak Syarif ini sulit dilacak oleh polisi berkat sistem pengedarannya yang tidak biasa. Sistem pengedaran yang dikelola Pak Syarif cukup simpel, namun efektif. Yang ia lakukan adalah meracik narkoba di ruang bawah tanah, di malam hari. Lalu menyelundupkan produknya pada pengedar via pakaian habis cuci yang diambil pelanggan. Pak Syarif sendiri sering terlibat dalam pembungkusan pakaian habis cuci, yang tidak diketahui orang adalah bukan hanya pakaian yang ia masukan ke dalam plastik. Ia juga menyelipkan paket narkoba di antara pakaian bersih yang terlipat itu. Cerdiknya lagi, pemilik pakaian yang dititipi paket narkoba ini bukanlah pengedar utama. Ia hanya kurir yang diutus pengedar agar jejaknya tidak terlacak sampai pada tempat laundry Pak Syarif. Kurir tersebut hanya tahu bahwa ia disuruh mengantarkan cucian dan mengambilnya kembali, dengan komisi yang lumayan!

Interogasi terhadap Pak Syarif soal keterlibatannya dalam gembong narkoba ini tidak begitu lancar di awal. Nampaknya Pak Syarif masih takut akan ancaman dari rekan bisnisnya. Tanpa ia sangka langkah yang ia ambil dulu itu telah membuatnya terjebak dalam lingkaran setan. Ia ingin keluar, namun keluar berarti tamat.

“Lantas mengapa Anda tidak menyerahkan diri setelah Aldi menyarankan anda untuk melakukan hal itu?” tanya Yusuf di sesi interogasi malam pertama.

“Saya.. Saya kalap.. Yang saya pikirkan saat itu adalah nama baik saya.. Saya tidak ingin dicap buruk sebagai..”

“Tapi, kalau begitu, kenyataannya anda memang patut dicap buruk.” Kali ini Dika yang berbicara.

“Anda benar.” Sahut  Pak Syarif yang langsung terdiam.

Pada malam ketiga akhirnya Pak Syarif buka bicara. Kerajaan kecil itu pun runtuh dan hanya meninggalkan satu pihak yang tersenyum lebar. Kepolisian. Atau lebih tepatnya, Ipda Dika, yang dipastikan akan mendapat kenaikan pangkat di waktu dekat.

“Tapi aku masih penasaran bagaimana kau bisa mencurigai Pak Syarif, Al. Dari tersangka yang ada kurasa yang paling tidak memiliki motif justru Pak Syarif.” Tanya Yusuf setelah ia duduk nyaman di kursi berlengan.

“Aku tidak mulai dari motif. Setelah mempertimbangkan kemungkinan bahwa yang terjadi adalah pembunuhan, yang pertama kutelusuri adalah kesempatan. Siapa yang  memiliki kesempatan paling besar untuk melakukan pembunuhan? Pak Syarif. Mengapa?

“Pertama, Pak Syarif merupakan satu-satunya orang yang berada di kosan. Kedua, Pak Syarif memiliki akses paling mudah untuk mengambil kunci master. Ketiga, dari cara dilakukannya pembunuhan (seperti analisis dari Yusuf), yaitu mencekik dari belakang lalu menggantung seolah bunuh diri, hanya bisa dilakukan oleh orang yang dipercayai Aldi (sehingga Aldi merasa cukup aman untuk membelakanginya). Lalu, menurut keterangan yang ada, orang yang punya hubungan dekat dengannya itu adalah Pak Syarif.

“Tentu saja itu juga bisa dilakukan oleh teman sekosan Aldi, Hendrik atau Tanto. Dan alibi mereka juga tidak terlalu kuat.

“Pada malam Hendrik jaga, tidak ada satu pun komplain dari pasien, Hendrik bisa dengan mudah pergi membunuh Aldi dan kembali ke RS. Tapi Hendrik tidak bisa tahu dengan pasti bahwa malam itu akan sepi, bagaimana jika pada saat ia pergi ada keluhan dari pasien kemudian staf lain menemukan Hendrik menghilang. Ini bisa menjadi masalah.

“Untuk Tanto memang lebih memungkinkan, ia menghabiskan malamnya di kampus, menyedot wi-fi untuk bermain game dan download. Dan kita hanya punya keterangannya untuk hal ini. Namun untuk Pak Syarif, yang keberadaannya sendiri sudah berada satu bangunan dengan TKP, kemungkinannya tentu saja lebih besar. Beranjak dari hal itu aku mulai menyusun rangkaian berpikir dengan premis pembunuhnya adalah Pak Syarif.”

“Tapi kemudian aku menemui jalan buntu. Dengan premis seperti di atas, aku tidak bisa menemukan motif. Hubungan Pak Syarif dengan Aldi sangatlah dekat. Dia tampak berduka saat Yusuf pertama kali menemuinya. Ia berbicara tentang Aldi dengan mata yang berkaca-kaca, membanggakan prestasi yang didapatnya, dan menjadi pilu ketika membicarakan masa lalu Aldi yang kelam. Siapa pun akan mengatakan bahwa Pak Syarif sangat menyayangi Aldi dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Dan dari hubungan yang begitu dekat ini, aku tidak bisa menemukan motif apa pun.

“Aku hampir berputus asa sampai akhirnya Dika, yang tiba-tiba muncul di depan mata, mengingatkanku kembali pada keterangan X. Asap tebal dan penampakan jin. Lalu aku teringat akan mitos tanah terkutuk Mr. Coen dan peredaran narkoba produksi lokal. Setelah memikirkannya, aku pun mengerti apa arti dari keterangan X.

“Kemudian aku berpikir, bagaimana jika Aldi melihat hal yang sama seperti X, menyelidikinya, dan akhirnya mengetahui arti dari asap tersebut. Dan jika artinya adalah produksi narkoba, maka aku pun mendapatkan motif pembunuhannya. Selanjutnya kau tahu sendiri apa yang kujelaskan, tidak perlu kuulangi. Oh, satu lagi. Mengenai kunci master yang ditemukan di dalam kamar. Hal ini dengan gamblangnya menunjukkan bahwa Pak Syarif adalah pembunuhnya. Pak Syarif ingin membuat Aldi tewas seolah-olah Aldi bunuh diri, sehingga ia membutuhkan ruang tertutup yang juga bisa menjauhkannya dari tuduhan. Untuk itulah ia melakukan trik yang membuat kunci master berada di dalam kamar. Trik yang merupakan bumerang, menurutku, karena dari ketiga tersangka, yang paling memiliki motif untuk menyimpan kunci master di dalam kamar adalah sang pemilik kunci master itu sendiri.”

Dika, yang tidak sabar untuk menunggu momen ini, berkata, “Nah, pertanyaan terakhir (dan yang kutunggu-tunggu), bagaimana soal kunci master yang berada di dalam kamar itu? Trik dibalik misteri ruang tertutup.”

“Bukannya Pak Syarif sudah mengaku. Tentunya kalian sudah memiliki penjelasannya.”

“Kami punya keterangannya. Aku hanya ingin memastikan bahwa penjelasan yang kau miliki sama dengan penjelasan dari pak Syarif.”

Alfa tersentak, diliriknya Dika dalam-dalam, “Kau berpikir bahwa penjelasanku salah.”

Dika menjawab tudingan Alfa, “Yah, kemungkinannya hanya dua, penjelasanmu sama atau berbeda. Penjelasanmu bisa benar atau salah. Hal yang perlu dilihat di sini adalah konsekuensi yang ditimbulkan dari masing-masing kemungkinan. Pertama, tentu saja, bisa mempertahankan egomu yang tinggi itu. Atau kedua, bisa mempermalukan dirimu sendiri di hadapan Yusuf dan Aku.”

Alfa mengalihkan pandangannya pada Yusuf. Yang dituju mengangkat tangan dan dengan menyesal mengingat-ingat perbincangannya dengan Dika beberapa hari yang lalu.

“Sampai hari ini sikapnya tidak berubah sama sekali. Dengan sombongnya menjelaskan kesalahan orang.” Gerutu Dika.

“Sombong? Kau terlalu berlebihan, Ka. Ya, memang, Alfa sering menjelaskan kesalahan orang dalam mengambil kesimpulan. Tapi Alfa tidak sombong, hanya saja caranya mengoreksi orang mengesankannya seperti itu.”

“Aku tahu!” Dika cemberut. “Tapi ini tidak bisa dibiarkan! Lama kelamaan ia bisa menjadi sombong betulan. Sebagai teman kita harus membuatnya tahu diri.”

Bahkan Yusuf tahu bahwa omongan Dika itu hanya alasan saja. Ada udang di balik batu. Udang yang sudah menunggu selama bertahun-tahun (enam atau tujuh tahun, Yusuf lupa).

Yusuf awalnya enggan terlibat dalam siasat Dika untuk mempermalukan Alfa, namun bujuk-rayu-dan-bisikan Dika yang bertubi-tubi, berhasil menyeretnya juga. Dika, dengan teknik persuasinya, telah menyulut kekesalan Yusuf pada Alfa. Hal ini diwujudkan berkat pertanyaan Dika mengenai ‘momen-momen menyebalkan Alfa’ yang dialami Yusuf di warteg bahari. Yusuf bahkan telah menumpahkan beberapa detil momen-momen itu pada Dika. Sebuah perbuatan yang disesalinya beberapa menit kemudian.

“Aku mengorek kalimat itu dari Yusuf.” jelas Dika.

Alfa tetap diam.

Dika, dengan senyuman licik yang masih tersungging di wajahnya, menyambung. “Nah bagaimana? Apa kau malu jika nantinya kau salah?”

Alfa tidak langsung menjawab, ia menutup mata sejenak dan baru membukanya pada hitungan ke lima. “Kau masih ingat perkataanku sebelumnya mengenai saksi yang melihat dari celah pintu, Sup?”

“Ya aku ingat.” Jawab Yusuf, “sesuatu tentang saksi yang mengintip dan melihat korban tergantung, kalau tidak salah.”

Alfa mengangguk, “Sebenarnya itu hanya tebakan yang beruntung. Saat itu aku memikirkan bagaimana cara untuk memasukkan kunci ke dalam kamar dan terpikirkanlah satu kemungkinan. Aku ingin mengetes kemungkinan ini lalu aku teringat pada saksi yang menemukan korban dan aku bertanya-tanya. Dari mana mereka mengetahui bahwa korban menggantung diri? Bagaimana jika mereka mempunyai alasan bagus untuk mencurigai korban telah bunuh diri dan untuk memastikan hal itu mereka mengintip dari celah pintu. Keterangan dari Pak Syarif dan Hendrik membenarkan hal ini, meskipun celah yang tidak begitu besar hanya membuat Hendrik melihat bayangan Aldi yang tergantung. Nah, waktu itu aku berpikir bahwa inilah yang dilakukan saksi, dan aku menanyakan padamu untuk memastikan. Ternyata aku benar. Tapi poin penting yang sebenarnya aku cari bukanlah gerak-gerik dari saksi, melainkan keberadaan celah pintu itu sendiri.”

Dika mencibir, “Maksudmu kunci master di atas meja itu dimasukkan melalui celah pintu? Bagaimana caranya?”

“Siapa yang bilang trik ini dipakai pada kunci master?”

Alis mata Dika menyatu.

“Kunci yang ditemukan di kamar, yang berada di dalam tas di atas kursi di depan mejalah yang dimasukkan oleh Pak Syarif melalui celah pintu. Pak Syarif, sebelum mengunci kamar dari luar, mempersiapkan seutas benang yang panjang berawal dari depan pintu, melalui celah, melintang di atas lantai, sampai berakhir di meja depan jendela. Benang kemudian ditarik ke atas melewati pegangan laci meja, ditarik lagi ke bawah dan diulang sekali lagi sehingga benang melingkar pada pegangan laci dalam dua lilitan. Di hadapan meja, Pak Syarif meletakkan kursi dan sebuah tas di atasnya. Posisinya diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian tas yang membuka tepat berada di bawah pegangan laci. Terakhir benang ditarik ke bawah, ke permukaan lantai, dan kembali melewati celah pintu sehingga di celah pintu sekarang terdapat dua ujung benang.

“Selanjutnya Pak Syarif mengunci pintu dari luar, mengikat kunci (hanya satu kali ikatan) dengan salah satu ujung benang dan menarik ujung lainnya. Hasilnya adalah kunci akan tertarik sedikit demi sedikit ke dalam kamar hingga akhirnya sampai pada pegangan laci. Benang yang dilingkarkan dua kali pada pegangan, membuat kunci stuck di bawah pegangan laci tapi dengan satu tarikan kencang kondisi stuck ini membuat ikatan benang pada si kunci (yang hanya satu ikatan) terlepas, membuat kunci terjatuh dan mendarat di bagian dalam tas yang terbuka.

“Sebenarnya ada kelemahan dengan cara ini, yaitu jatuhnya kunci yang tidak bisa diprediksi. Bisa saja kunci jatuh tidak ke dalam tas dan malah jatuh ke lantai. Dengan begitu posisi kunci terlihat lebih mencurigakan. Tapi sepertinya Pak Syarif dengan beruntung bisa membuat kunci terjatuh di tempat yang ia rencanakan.

“Nah, itu penjelasan dari ku. Jadi bagaimana?”

Hening berlangsung cukup lama. Yusuf, yang hanya ikut-ikutan dalam siasat Dika, tidak bisa berkata-kata. Dika, sang konspirator utama, mengalami hal serupa. Yang ia lakukan selanjutnya adalah meneguk cangkir kopi, memain-mainkannya di udara, dan melampiaskan agresinya pada permukaan meja. Brak.

“Sialan!”

End.

N.B.
Terimakasih sudah mengikuti cerita bersambung ini sampai selesai.. :))

33 comments on “Last, Conclusion

  1. Pingback: Again, Motive | Black or White?

  2. ga nyangka endingny keren bnget!!
    awalnya saya sudah berpikir kl ini pembunuhan. saya curiga sama tanto sama pak syarif. gatau knp saya selalu menebak sang pelaku adalah orng yg paling tdk mungkin melakukan itu. saya curiga ke tanto krn dia gamers, saya jd curiga krn bnyk gamers jg jd psikopat wkwk. kl curiga ke pak syarif menurut saya krn dia yg memiliki kesempatan paling besar untuk membunuh hehehe.
    ini keren banget, saya tunggu cerita2 barunyaa

    Like

    • Terima kasih buat pujiannya, hehe.. ^^

      Mungkin emang karena di kebanyakan cerita detektif pelakunya org yg paling tidak mungkin melakukan pembunuhan (ini juga yang saya gunakan di dalam cerita) 😀

      Untuk cerita baru sepertinya belum bisa diposting sekarang-sekarang (baca : masih lama :3 ).

      Like

  3. senang skli aq bhsil menebak pelaku dan motifnya nih Hehe utk ptma kali x aq komentar nih stlh hmpr seluruh kasus di blog ini uda aq baca, semangat terus ya bikin cerita.. kali aja nanti jadi penulis novel ya? Aamiin

    Like

  4. Seneng bgt deh berhasil nebak pelakunya n motifnyaa haha tapi ceritanya benar2 keren.. salut banget sama kamu yg udah nyempetin wkt buat bikin kasus ginian.. semangat ya bikin kasus lainnya hehe oiya btw hampir smw kasus dsni aq baca loh, hehe

    Like

    • terima kasih banyak untuk apresiasinya.. ^^
      hebat Risya bisa nebak pelaku+motifnya, sering baca cerita detektif yaa? hehe

      soal jadi penulis, doain aja ya.. rencana sih ada.. 😀

      sekali lagi, makasih ya udah baca cerita saya ini.. buat cerita selanjutnya mungkin bakal agak lama, tapi pasti bakal ada yang baru kok.. :p

      Like

      • Wkwk soalnya dirumah aku punya komik detektif n novel sekitar 300 lebih dan tontonannya FoxCrime.. hhe tapi salut deh sama kamu yg bs bikin cerita gitu, kalo nebak sih gampang, bikin cerita itu yg susah.. huuhu

        Like

      • waduh, banyak banget tuh? Christie pasti banyak ya? Udah pernah baca John Dickson Carr? recommended tuh.. ^^

        Haha, saya juga awalnya cuman baca n nebak2.. tapi karena sering meleset jadi pindah haluan dr baca ke bikin (kalau gini kan gabakal meleset2 toh saya yg bikin wkwk).. :3

        Like

  5. Keren yah.. Aku kalo baca soal detektif engga bisa ikut memprediksi siapa pelakunya. (Wkwk pls deh)
    Btw, diksi kaka tuh bagus. Suka. Aku sempat nengok blog ini tiap hari buat baca ceritanya, tapi belum keluar juga. Pas sekarang udh keluar sampe end rasanya gimana gitu =))

    Bikin lagi kak, dan titip salam sama Alfa =))

    Like

    • Ah, yg penting bisa menikmati jalan cerita.. hehe 😀

      Makasih de.. ^_^
      Bagi penulis, karya yg udah jadi ga berarti apa2 tanpa ada apresiasi dari pembaca.. So, again, thank you.. :))

      Cerita Alfa selanjutnya mungkin agak lama keluar, tapi premis dll udah disiapin.. Tunggu aja ya, hehe 😀

      Sip! Alfa kirim salam balik katanya.. 🙂

      Like

    • Wahaha, maaf-maaf.. Kemarin-kemarin saya ada proyek bikin kumcer detektif. Jadi cerita barunya gabisa saya posting di sini, hehe..
      Mungkin nanti kalau naskah kumcernya diterima penerbit, Adrian bisa baca dengan beli bukunya hehe.. ^_^

      Like

Your Opinion