The Investigation – Part 2


Lebih telat daripada yang direncanakan. Mostly because i was drowned by the books of my favorite author, JDC! >.<
Sebenarnya masih ada dua scene investigasi lagi. Untuk Tanto dan lanjutan untuk Pak Syarif. Lalu.. Oops, spoiler! Anyway, lanjutan ini sebagian besar dipostkan dengan tujuan sebagai filler (biar blognya ga keliat kosong-kosong amat gitu). Well, better than nothing, no? So here it is!

Sebelumnya..

Yusuf kembali terduduk di sofa panjang ruang tamu bangunan sayap. Pak Syarif telah mempersilakan Iptu Yusuf untuk menggunakan ruangan ini sebagai tempat interogasi saksi selanjutnya. Di hadapan Yusuf, duduk tegak di sofa cokelat, adalah seorang pemuda dua puluh tiga tahun, mahasiswa kedokteran tingkat akhir bernama Hendrik Hendrianto.

Pembawaan Hendrik terlihat cemas dan gugup. Dahulu Yusuf berkeyakinan bahwa pembawaan seperti ini biasa ditemukan pada orang yang baru pertama kali berurusan dengan polisi. Pengalaman menunjukkan bahwa ia salah. Setelah cukup lama bertugas, ia mendapati bahwa rata-rata orang (meskipun mereka tahu mereka tidak melanggar hukum apa pun) selalu menunjukkan sikap tersebut jika berhadapan dengan petugas kepolisian (ironisnya, dengan pengecualian orang-orang yang sudah menjadi langganan). Suatu ketika ia pernah merenungkan hal ini dan terheran – heran sendiri. Mengapa orang harus merasa gugup di hadapan polisi yang memiliki semboyan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

Berusaha untuk tidak mengintimidasi saksi di hadapannya, Yusuf mencoba memulai pembicaraan dengan pembawaan yang santai. Yusuf menanyakan nama lengkap Hendrik dan dari mana ia berasal. Yusuf juga menanyakan pengalaman Hendrik di rumah sakit, soal tugas jaga tadi malam, dan akhirnya sampai pada masalah utama : penemuan mayat korban.

Hendrik meneguk teh yang dihidangkan di hadapannya sebelum berbicara, “Dari mana saya memulainya?”

“Kalau bisa, awali dari waktu kedatangan Anda ke kosan.” Yusuf membuka notebook kecilnya.

“Benar Inspektur. Piket saya berakhir sekitar pukul empat subuh, saya langsung pulang ketika teman saya (yang bertugas menggantikan) datang. Saya tiba di kosan kira-kira pukul lima kurang lima belas. Saya pergi ke kamar (di seberang kamar Aldi) beristirahat selama lima menit dan bersiap untuk mandi. Baru saja melangkah ke kamar mandi ketika saya kemudian teringat sabun mandi saya habis. Lalu saya keluar ke kamar Aldi untuk meminjam sabun.”

“Pada saat saya datang lampu kamar Aldi menyala, tahu kebiasaannya, saya pikir Aldi sudah bangun. Saya mengetuk dan memanggil namanya, namun tidak ada jawaban. Saya menunggu beberapa saat, menyangka Aldi sedang berada di kamar mandi, namun tidak ada respons sama sekali. Satu sampai dua menit saya menunggu di depan pintu, memanggil-manggil Aldi dan mulai menggedor pintu. Tetap tidak ada respons. Hal itu membuat saya khawatir, saya pun turun ke bawah untuk melaporkannya pada Pak Syarif. Di lantai satu saya bertemu dengan Pak Syarif, saya menjelaskan perilaku Aldi yang tidak biasa itu. Pak Syarif terlihat khawatir, ia segera berbalik untuk mengambil kunci master dan kembali beberapa saat kemudian sambil mengatakan bahwa kunci masternya hilang. Saya jadi tambah khawatir, lalu saya mengajak Pak Syarif untuk memastikan keadaan Aldi, kalau perlu mendobrak pintunya sekalian, karena saya yakin ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi pada Aldi.”

“Lalu anda berdua pergi ke kamar Aldi?”

“Kami pergi ke kamar Aldi.” Hendrik membeo. “Saya mencoba membuka pintu tapi pintunya terkunci. Kami menggedor pintu dan memanggil Aldi tanpa hasil. Lalu beberapa saat kemudian, Pak Syarif menarik saya ke belakang dan menunjukkan jari pada kaca di bagian atas kusen pintu. Saya tidak menyadari sebelumnya sampai ditunjukkan oleh Pak Syarif. Saya tersentak ketika menyadari apa yang ditunjuk oleh Pak Syarif.”

“Apa yang anda lihat?”

“Awalnya, hanya sebuah garis vertikal yang membayangi cahaya lampu kamar. Tapi sesuatu kemudian terlintas dalam pikiran saya. Saya bertukar pandang dengan Pak Syarif, kami tidak mengatakan satu kata pun, tapi kami mengerti apa yang dipikirkan satu sama lain. Saya, entah dengan dorongan apa, segera menjatuhkan badan ke lantai, mencoba mengintip lewat celah kecil di bawah pintu kamar. Awalnya saya tidak bisa melihat apa-apa, tapi saya terus memicingkan mata dan dari celah tersebut saya bisa melihat hamparan lantai keramik dengan bayangan besar tergambar di atasnya. Saat itulah saya yakin bahwa Aldi sudah menggantung diri. Saya kembali bangun, selama beberapa saat saya diam terpaku, lalu setelah mengendalikan diri saya mengisyaratkan Pak Syarif untuk mendobrak pintu kamar Aldi. Saat itu kontrol diri saya kembali hilang karena saya ingat saya meneriakkan sesuatu (tapi saya lupa apa yang saya katakan). Tak lama kemudian pintu terbuka.. dan..” Suara Hendrik terpotong.

Yusuf menunggu dengan sabar. Matanya terpaku pada halaman notebook yang ia pegang.

“Setelah pintu terbuka, saya menemukan sosok Aldi yang tergantung. Wajahnya tepat menghadap saya, matanya terbuka lebar dengan tatapan kosong yang mengerikan. Lutut saya menjadi lemas, saya kemudian duduk terjatuh di ambang pintu. Aneh, saya sudah sering melihat mayat di ruang bedah, namun baru kali ini saya merasa takut seperti itu.”

“Yang Mas lihat saat itu bukanlah mayat, melainkan sosok teman yang sudah tidak bernyawa.” Yusuf mencoba menenangkan. Sebenarnya efek yang hampir sama juga ia rasakan saat melangkahkan kaki ke TKP, tapi Yusuf gengsi untuk mengakuinya.

“Sepertinya Anda benar, pak Inspektur.”

“Ehm. Selanjutnya, menurut keterangan dari Pak Syarif, Mas masuk ke dalam kamar untuk memeriksa tubuh Aldi, benar begitu?”

“Benar, Inspektur. Saya pikir itu tugas saya sebagai calon dokter. Saya memeriksa denyut nadi untuk memastikan. Aldi telah tiada.” Hendrik menggelengkan kepala.

“Anda tidak melakukan apapun selain mengecek nadi korban?”

Hendrik terlihat bingung.

“Lupakan pertanyaan saya tadi.” Tambah Yusuf. Sudah kuduga itu tidak mungkin. Lagi pula, jika memang yang terjadi adalah seperti itu, Pak Syarif pasti menyadarinya. Yusuf menggaruk belakang kepalanya.

Hendrik menjelaskan kejadian selanjutnya. Ia turun ke bawah bersama pak syarif. Mendudukan Pak Syarif di lantai satu, membantu mengurangi syok yang dialaminya, sambil menunggu polisi datang. Lima menit kemudian Tanto datang, dan Hendrik memberitahukan soal Aldi padanya. Tanto terduduk di ruang tengah. Ketiganya menunggu di lantai satu sampai polisi datang. Hendrik selesai memberikan keterangannya.

“Apa ada lagi yang ingin anda ketahui, Inspektur?”

Yusuf menimbang-nimbang sebelum berbicara, “Hmm.. Soal bunuh diri ini. Mungkin Mas bisa membantu. Yang saya ketahui, kasus bunuh diri yang biasa terjadi didorong berbagai motif berbeda. Kadang karena putus cinta. Kadang karena masalah ekonomi. Kadang karena jeratan narkoba. Atau untuk pemuda seumuran Mas, karena frustrasi tidak bisa mendapat pekerjaan. Ehm. Mungkin Mas juga hafal motif lainnya yang sering diberitakan di televisi. Yang ingin saya tahu, Mas Hendrik. Menurut Mas, apa yang membuat saudara Aldi sampai nekat untuk menghabisi nyawanya?”

“Untuk masalah narkoba satu itu, Inspektur, saya yakin bukan itu. Saya memang belum menjadi dokter, tapi saya bisa tahu seperti apa orang yang mulai kecanduan, Aldi bukan salah satunya. Lagi pula, biasanya pecandu mati karena overdosis, jauh dari istilah bunuh diri. Untuk motif lainnya yang anda usulkan itu, saya rasa jawabannya sama. Aldi yang saya kenal tidak akan bunuh diri dengan motif-motif seperti itu, Inspektur.” Kata Hendrik bersungguh-sungguh.

“Ah, tapi bukan berarti saudara Aldi tidak memiliki permasalahan yang sama dengan pelaku-pelaku bunuh diri yang sudah lalu itu, benar?”

“Tapi Aldi memang tidak memiliki masalah seperti yang anda kira, Inspektur. Memang, Aldi tidak memiliki pacar, namun itu karena ia memiliki prinsip untuk langsung menikah. Dan hubungannya dengan teman-teman wanitanya sangat baik. Aldi adalah tipe orang yang disukai banyak orang, Inspektur. Masalah ekonomi, Aldi sudah mandiri sejak ia masih remaja. Sejak kecil Aldi kehilangan keluarganya, sebagian besar masa kecilnya ia habiskan di panti asuhan. Biaya kuliahnya ia dapat dari beasiswa, biaya hidup ia tambah dari kerja sambilan. Dan untuk masa depan, Aldi sudah terjamin. Ia sudah ditawari posisi oleh beberapa perusahaan top, Aldi hanya tinggal menunggu waktu wisuda dan menerima ijazah. Jadi, Inspektur, Aldi tidak memiliki permasalahan seperti yang anda duga. Dan meskipun Aldi memiliki masalah seperti itu, saya yakin ia tidak akan menuntaskannya dengan cara bunuh diri.”

Yusuf menarik nafas panjang. “Mungkin yang dikatakan Mas benar. Tapi saya tidak bisa melupakan kenyataan bahwa saudara Aldi tewas tergantung di kamarnya. Ia menggantung diri. Bukti TKP mendukung hal ini.” Baru pada kesempatan lain ketika Yusuf memikirkan kembali kesimpulannya itu.

“Dan perilaku bunuh diri ini tentunya memiliki motif yang mendasarinya. Motif harus ada, karena perilaku itu sendiri memang muncul di permukaan. Sekarang, mungkin motif Aldi bukan berasal dari hal-hal yang saya usulkan tadi. Tapi, motif itu harus ada..” menyadari omongannya kembali berputar-putar, Yusuf berhenti.

“Ehm. Mas Hendrik, selama pendidikan anda di kedokteran anda tentunya sudah dibekali ilmu psikiatri, bukan begitu?” Tanya Yusuf, sambil berusaha melupakan racauannya beberapa saat yang lalu.

“Ya, tentu saja.”

“Apakah perilaku Aldi selama ini menunjukkan keanehan? Apapun yang membuat anda mencurigai niatnya untuk bunuh diri?” Yusuf mengubah strategi. Kali ini ia menyusuri motif melalui simtom atau tanda-tanda suicidal yang ditampilkan Aldi.

“Sepengetahuan saya tentang tanda-tanda suicidal dan perilaku yang ditampilkan Aldi akhir-akhir ini, Inspektur. Saya sama sekali tidak menemukannya pada perilaku Aldi.”

“Mungkin lebih baik Mas ceritakan pada saya seperti apa Aldi akhir-akhir ini. Kapan terakhir Mas berinteraksi dengan saudara Aldi?” Tanya Yusuf yang mempertimbangkan kesibukan Hendrik sebagai mahasiswa kedokteran.

“Sebelum memulai tugas malam, terakhir saya bertemu dengannya di tempat laundry. Tapi di hari-hari sebelumnya kami sering mengobrol, ketika saya tidak di rumah sakit tentunya.”

“Baiklah, ceritakan yang Mas ketahui.”

Hendrik menceritakan interaksinya dengan Aldi semenjak seminggu yang lalu. Yusuf memerhatikan dan mencatat poin-poin yang ia anggap penting. Hendrik tetap bersikukuh bahwa tidak ada tanda-tanda perilaku suicidal pada diri Aldi. Catatan Yusuf pun akhirnya penuh dengan sifat-sifat baik Aldi yang ramah, akrab dengan siapa saja, suka menolong, rajin, inisiatif dan lain-lain. Bahkan ketika marah Aldi tidak menimbulkan keributan apapun, sebaliknya ia akan menenangkan diri di masjid. Yusuf menggaruk-garuk kepala. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa Aldi memang sosok pemuda teladan. Lalu apa yang membuatnya sampai bunuh diri?

“Dan terakhir saya bertemu dengannya di tempat laundry. Saya hendak mencuci pakaian saya sedangkan Aldi membuka pintu hendak keluar dari sana. Kami hampir bertabrakan dan Aldi nampak terkejut saat itu sampai-sampai bicaranya jadi agak gugup. Saya mengangkut pakaian yang hampir segunung, tak heran ia terkejut. Kami berdua tertawa dan saya bertanya apa ia baru habis mencuci. Jika iya, maka saya harus menunggu cuciannya selesai. Aldi mengatakan tidak, ia habis mencari pasangan kaus kakinya yang hilang. Usahanya gagal. Saya tahu itu, ia tidak sedang memegang kaus kaki apapun. Kemudian Aldi bertanya pada saya apa Pak Syarif sudah pulang. Saya menjawab belum.”

Yusuf bertanya lebih lanjut soal Pak Syarif ini.

“Dari pagi Pak Syarif sudah keluar dengan mobilnya, ada urusan penting sepertinya. Anyway, selanjutnya Aldi pamit ke kamar dan saya masuk untuk mencuci pakaian. Di sana saya mencoba mencarikan kaus kaki Aldi. Saya mulai dari tumpukan pakaian kering dan berhenti begitu menyadari bahwa itu milik Tanto. Lalu saya mencari di mesin pengering. Tidak ada, kosong. Saya berpikir, mungkin terselip di antara pakaian Aldi di lemarinya. Saya pun mulai mencuci, tapi sialnya mesin cuci masih penuh dengan pakaian. Lagi-lagi Tanto, ia lupa atau mungkin sengaja merendam pakaiannya dengan pewangi lalu meninggalkannya. Mentang-mentang hampir semua penghuni pulang kampung.”

Yusuf memperhatikan Hendrik dengan sorot mata yang terheran-heran. Pemuda yang awalnya terlihat gugup ini, sekarang ringan sekali dalam membuka mulut.

“Yah, pada akhirnya saya sendiri yang mengeringkan pakaian Tanto. Terpaksa, karena saya tahu Tanto sedang keluar dan jika tidak segera mencuci saya tidak mempunyai seragam untuk jaga nanti malamnya.”

“Kehidupan anak kos, kadang memang tidak enak.”

“Betul, Inspektur. Eh. Maaf. Sepertinya pembicaraan saya bablas.” Hendrik mengaku malu.

“Tidak. Mas membantu, kok. Saya akhirnya bisa mengetahui karakter Aldi seperti apa. Dan dari penjelasan Mas Hendrik, sepertinya masalah Aldi hanyalah selembar kaus kaki yang hilang. Terima kasih Mas Hendrik atas informasinya.” Yusuf berdiri sambil menjulurkan tangannya.

Hendrik menyambut juluran tangan Yusuf, lalu mengundurkan diri dari hadapan sang Inspektur.

Yusuf kembali terduduk di sofa panjang berwarna cokelat itu. Motif masih belum ia dapatkan dan sepertinya pencarian motif ini akan lebih sulit daripada yang ia duga. Metode langsung tidak membuahkan hasil. Yusuf berpikir bahwa sebaiknya ia mempelajari kepribadian Aldi lebih dalam sebelum menetapkan motif apa yang menyebabkan Aldi bunuh diri. Untuk itu ia membutuhkan pendapat pihak lain.

Yusuf memanggil Briptu Ujang dan memberikan instruksi padanya. Sekarang ia tinggal menunggu saksi berikutnya sambil menikmati sebatang rokok favoritnya.

***

Selanjutnya..

30 comments on “The Investigation – Part 2

  1. Pingback: The Investigation – Part 1 | Black or White?

  2. Hal yang membingungkan saya adalah :
    1. Masyarakat Indonesia bagian mana yang memanggil polisi dengan panggilan “Inspektur” meskipun berpangkat “Iptu/Ipda”? (Takutnya, ketika bertemu Kapolres yang biasanya berpangkat AKBP, masyarakat akan memanggilnya apa?)
    2. Polisi mana yang dalam tempo satu hari bisa berubah pangkat dari Briptu menjadi Bripda?
    3. Polisi berpangkat Iptu dibagian reskrim dimana yang masih ‘ketar-ketir’ ketika menghadapi mayat?

    hehe, semoga bisa ditanggapi dengan baik, dan menjadi koreksi bagi kita semua di masa depan… Tulisannya bagus, ceritanya menarik, pengetahuan penulisnya juga sudah baik..

    Like

    • Wah soal masalah pangkat kepolisian saya masih mencoba-coba.. hehe, dari awal saya udah antisipasi kalau-kalau ada kejanggalan dalam mencantumkan pangkat. Terima kasih atas kritikannya.. 😀
      Soal Briptu atau Bripda, yang benar Briptu. Typo.. :3
      Well, soal yang ketiga. Saya sengaja bikin seperti itu, rencananya sih hal tersebut ada hubungannya sama backstory-nya si Iptu Yusuf..
      Terima kasih buat komen dan kritikannya, saya tunggu lagi di lanjutan cerita berikutnya.. 😀

      Like

      • Aduh, tanggapannya positif sekali. Walaupun saya terkesan menggurui, tapi dari hati saya tidak bermaksud seperti itu kok, hehe.
        Tambahan sedikit, mungkin saudara terpengaruh dengan novel/komik detektive dari luar, yang biasa memanggil polisi sesuai pangkatnya, misalnya Pak Inspektur, Pak Komisaris Besar dsb, sayangnya itu tidak terjadi di Indonesia. Apalagi orang luar (bukan anggota polisi) sangat tidak mungkin ada yang memanggil polisi dengan sebutan pangkatnya.
        Kalau untuk jalan cerita, dua jempol deh!!

        Like

      • Kebanyakan besar saya memang mengacu pada novel detektif dari luar, dan di dalamnya memang aparat kepolisian dipanggil berdasarkan pangkatnya, jadi saya mengikuti hal itu. Tapi saat mulai menggarap cerita ini saya ragu-ragu, apa iya di indonesia si saksi memanggil si tokoh polisi seperti itu? Alhasil, di Investigation part 1, pak Syarif pun memanggil Yusuf dengan sebutan pak polisi saja (di lanjutan nanti pak syarif memanggil Yusuf seperti Hendrik). Baru pada part 2 saya mencoba pemanggilan polisi berdasarkan pangkat itu.
        Jujur, pengetahuan saya mengenai kepangkatan dan kepolisian di indonesia masih minim dan saya berterimakasih Mas Irianto (boleh saya panggil begitu) mengkoreksi saya. Kalau bisa saya minta diberitahu lebih dalam mengenai hal ini. -_-a

        Terima kasih untuk pujiannya.. 😀

        Like

  3. satu lagi, kalau boleh beri pertanyaan, berita tentang kematian si Aldi sudah dimuat disurat kabar (di ceritakan di Suicide, yang ada gambar denah). Kita sama-sama tahu, bahwa berita yang terbit di surat kabar pagi adalah kejadian yang terjadi sehari sebelumnya. Nah, sedangkan mayat si Aldi masih tergantung ketika Yusuf datang (di investigation part I). Apalagi, ketika ditanyakan pada Pak Syarif jawabannya adalah “Waktu itu, masih sekitar jam 5 Pagi”, bukan “Kejadiannya tadi, sekitar jam 5 pagi” berarti kejadiannya terjadi pada sehari sebelumnya, dan mayat korban tetap dibiarkan tergantung selama satu hari, sampai atasan (mungkin Kasat/Kanit reskrimnya) Iptu Yusuf tiba?

    Like

    • Ternyata bisa diartikan seperti itu ya? Yang saya maksud sebenarnya yang kedua, jadi si mayat tidak dibiarkan menggantung sehari. Oh, dan untuk kejadian peristiwa itu bukan sehari sebelum pertemuan Yusuf dan Alfa di warteg, tapi dua hari sebelumny (saya tulis di investigation part 1).

      Like

  4. Pingback: The Investigation – Part 3 | Black or White?

  5. Pingback: Sedikit selingan.. | Black or White?

  6. Pingback: The Final Day of Investigation – Part 1 | Black or White?

  7. Pingback: The Final Day of Investigation – Part 2 | Black or White?

  8. Pingback: The Unexpected Guest | Black or White?

  9. Pingback: Motive | Black or White?

  10. Pingback: Trap | Black or White?

  11. Pingback: Again, Motive | Black or White?

  12. Pingback: Last, Conclusion | Black or White?

Your Opinion